Kebijakan ini dikeluarkan melalui tangan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dengan spekulasi kuat tentang adanya manuver politik yang melibatkan Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Namun bagi rakyat dan elit politik Aceh, kebijakan ini bukan sekadar soal batas wilayah administratif — ini adalah soal sejarah dan martabat negara
Aceh Bukan Sekadar Titik di Peta
Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf, menjadi salah satu tokoh yang paling vokal menolak transfer tersebut. Sebagai tokoh yang ikut menandatangani dan menjaga semangat Perjanjian Damai Helsinki 2005, Muzakir menegaskan bahwa wilayah Aceh tidak bisa diubah sepihak tanpa melanggar ruh kesepaka
“Empat pulau itu bukan hanya daratan. Itu adalah bagian dari kehormatan Aceh. Mengusik wilayah itu berarti mengusik Helsinki,” t
MoU Helsinki: Batas 1956 Adalah Fonda
MoU Helsinki, yang menjadi dasar perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI, secara tegas menyebutkan bahwa Aceh memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahannya sendiri, termasuk wilayah administratif berdasarkan peta per 1 Juli 19
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, yang juga menjadi tokoh kunci dalam mediasi damai Helsinki. Ia menyebut Kepmendagri itu “cacat formil”
“MoU Helsinki itu bukan sekedar nota kesepahaman, tapi perjanjian yang menjadi dasar hukum dan politik perdamaian. Tidak bisa diubah hanya dengan keputusan menteri,” ujar JK.
Tito dan Bobby
Pengamat menilai bahwa kebijakan ini menunjukkan ketidakpekaan Jakarta dalam membaca konteks sosial-politik Aceh. Tito Karnavian, meski pernah menjabat Kapolri dan memahami sisi keamanan Aceh, kini dianggap memandang Aceh hanya dari kacamata administratif. Sementara Bobby Nasution dinilai membawa ambisi politik yang bisa memperkeruh suasana, bukan menyelesaikan masala
“Pemerintah pusat kembali mengira Aceh bisa diatur hanya melalui rapat birokrasi, peta digital, dan kompromi elite. Mereka lupa bahwa Aceh adalah hasil kompromi darah, bukan sekadar wilayah administratif,” kata seorang analis.
Potensi Senjata
Pergeseran batas wilayah ini dinilai berpotensi membuka luka lama dan mengganggu stabilitas politik di Aceh. Meskipun perlawanan saat ini masih berada di jalur politik dan hukum, pengabaian terhadap perjanjian Helsinki dapat memicu gelombang ketidakpuasan lebih lanjut
“Jakarta boleh menang di kertas. Tapi Aceh punya kenangan darah,” ujar seorang aktivis masyarakat sipil. “Kalau pemerintah terus gegabah, roh Helsinki bisa bangkit kembali,