Sumatera Barat — (kabaruniex.com) Di tengah kelezatan masakan Minang yang mendunia seperti rendang dan gulai, ada satu kebiasaan unik yang sering membuat orang luar bertanya-tanya: mengapa sebagian besar orang Minang tidak makan kulit ayam?
Kebiasaan ini bukan tanpa alasan. Menurut adat dan pemahaman budaya yang diwariskan secara turun-temurun, orang Minang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan, kesederhanaan, dan pengendalian diri, termasuk dalam hal makanan.
Dalam pandangan sebagian masyarakat Minang, kulit ayam dianggap bagian yang “lezat tapi tidak berfaedah”. Kulit ayam yang berlemak sering diidentikkan dengan kemewahan atau kenikmatan berlebih, yang tidak sejalan dengan nilai adat yang menekankan kesahajaan dan menjaga diri dari hawa nafsu berlebihan, terutama dalam konsumsi makanan.
Tokoh adat Minangkabau, Buya Syahrul, dalam salah satu pengajian adat di Padang menjelaskan, “Orang tua kami dulu bilang, makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Kulit ayam itu enak, tapi kalau semua yang enak kita makan tanpa batas, hati bisa jadi lemah menahan nafsu.”
Selain itu, ada pula pengaruh dari pendidikan agama yang kuat di tanah Minang. Banyak keluarga yang sejak kecil menanamkan prinsip menghindari makanan yang dianggap mendorong kerakusan atau berlebih-lebihan. Kulit ayam, dalam hal ini, sering dikategorikan seperti itu — bukan karena haram, tapi karena dianggap kurang mendidik untuk pengendalian diri.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua orang Minang sepenuhnya meninggalkan kulit ayam. Di kota-kota besar, terutama generasi muda, kini sudah mulai mengonsumsi kulit ayam seperti masyarakat lainnya. Bahkan ada warung Minang modern yang menyediakan menu kulit ayam goreng krispi sebagai lauk tambahan.
Meski begitu, kebiasaan ini tetap menjadi ciri khas yang memperlihatkan betapa eratnya nilai budaya dan agama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, termasuk dalam hal yang sederhana seperti memilih bagian ayam yang dimakan.