Di tengah kabut sejarah yang menyelimuti masa lalu Nusantara, muncul sosok misterius namun penuh makna: Pujangga Manik, seorang pangeran dari Pakuan Pajajaran yang menanggalkan mahkota demi pencarian spiritual. Namanya mungkin tidak sepopuler Gajah Mada atau Hayam Wuruk, tapi jejaknya justru tersebar luas di seantero kepulauan — dari tanah Sunda hingga ke Bima di timur, dari Tanjungpura di utara Kalimantan hingga Bali nan jauh di tenggara.
Pujangga Manik bukan sekadar tokoh cerita. Ia adalah protagonis dalam naskah kuno berbahasa Sunda Kuno, yang ditulis sekitar abad ke-16, dan kini tersimpan rapi di Perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Naskah itu menjadi salah satu sumber paling berharga untuk mengenal dunia batin dan peta budaya Nusantara di masa silam.
🔍 Sebuah Perjalanan Melampaui Zaman
Dalam dua kali perjalanannya, Pujangga Manik melintasi banyak wilayah yang sekarang menjadi bagian penting dari Indonesia:
🌿 dari Pakuan Pajajaran ke Sunda Kalapa,
🛶 lalu ke Cirebon, Majapahit, Blambangan, hingga Bali dan Sumbawa.
Kemudian dalam perjalanan kedua, ia mengarah ke barat dan utara, mengunjungi Lampung, Palembang, hingga Tanjungpura di Kalimantan.
Yang luar biasa, semua tempat itu disebutkan secara eksplisit dalam teks, menjadikan naskah ini bukan hanya dokumen spiritual, tapi juga peta etnografis dan geografis Nusantara zaman kuno.
Namun naskah ini bukan catatan perjalanan biasa. Ia menyingkap banyak hal:
Nilai askese, ketika Pujangga Manik menolak godaan duniawi.
Pandangan hidup Sunda yang penuh hormat kepada leluhur dan alam.
Catatan sosial: dari nama pelabuhan, jenis makanan, pakaian, hingga kondisi masyarakat yang ia temui.
Bahasa yang digunakan pun puitis, kaya metafora, dan mencerminkan kehalusan budaya Sunda Kuno. Dalam bait-baitnya, kita seperti dibawa menyusuri sungai dan gunung, pelabuhan dan pasar, sembari merenungi makna hidup dan kebebasan jiwa.
Dalam dunia akademik, naskah ini dipelajari oleh banyak pakar, seperti:
J. Noorduyn dari Belanda, yang menerbitkan edisi ilmiahnya.
Edi S. Ekadjati, sejarawan dan filolog terkemuka dari Indonesia, yang menggali maknanya dalam konteks budaya Sunda.
Menurut para peneliti, Pujangga Manik adalah narasi unik yang menggabungkan unsur lokal dengan semangat universal akan pencarian jati diri.
Di era modern ini, kisah Pujangga Manik seolah mengingatkan kita bahwa perjalanan sejati bukan hanya soal menjelajahi tempat, tapi mengenal siapa diri kita di tengah alam dan sejarah. Ia adalah simbol bahwa dalam diam dan pengembaraan, kita bisa menemukan jawaban yang tak pernah diajarkan di istana atau sekolah.
> “Nu bener mah kudu nyorang jalan,
Nepi ka tungtungna kahirupan,
Nu jauh taya tapak nu ngora,
Lalaki nu leungit ti alam dunya…”
(– bait bebas berdasarkan suasana naskah)
—
📚 Sumber Referensi:
1. Noorduyn, J. (1988). Three Old Sundanese Poems. KITLV Press.
2. Ekadjati, Edi S. (1995). Kebudayaan Sunda. Pustaka Jaya.
3. Danadibrata, R. (2006). Kamus Basa Sunda Kuna-Indonesia. Pustaka.
4. Atja dan Danasasmita, S. (1970-an). Kajian Naskah Sunda Kuno.